Minggu, 09 November 2008

wajah dunia kesehatan Indonesia

By DR.Sampurno | September 8, 2007

Oleh: Sampurno1

Memasuki tahun 2007 ada signal buram yang perlu kita waspadai berkaitan dengan masalah kesehatan di Indonesia. Dua minggu pertama di bulan Januari 2007 kasus flu burung merebak dibanyak daerah dengan Jakarta sebagai episentrumnya. Belum reda KLB (Kejadian Luar Biasa) flu burung, datang bertubi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Menurut situs Depkes, sampai dengan tanggal 31 Januari 2007, DBD telah menelan 144 korban jiwa dari total penderita 8.019 orang.

Memang ironik kasus (KLB?) DBD terus terjadi disetiap tahun dengan trend yang terus meningkat. Kesemua ini adalah bukti kegagalan upaya preventif dalam memberantas DBD. Kalau kita cermati siklus DBD sesungguhnya bisa diprediksi setiap tahunnya. Tiga bulan sebelum siklus DBD muncul, mestinya digiatkan pembersihan lingkungan sehingga jentik nyamuk Aedes agypti tidak bisa hidup/berkembang biak. Yang kita saksikan selama ini justru kegiatan kuratif yang lebih menonjol. Setiap ”musim deman berdarah” pasien dirawat di lorong-lorong rumah sakit dan jajaran kesehatan pusat maupun daerah sibuk - kalang kabut menangani DBD.
Fenomena KLB flu burung dan DBD sesungguhnya merupakan puncak gunung es dari masalah kesehatan di Indonesia. Permasalahan kesehatan masyarakat yang sesungguhnya jauh lebih besar dan kompleks. Angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan, gizi buruk, kasus anemia, prevalensi diare dan TBC keadaannya masih jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara tetangga dekat kita Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina.
Dewasa ini pola penyakit di Indonesia semakin kompleks dan negeri ini sedang berada pada pertengahan transisi epidemiologik. Disatu pihak penyakit tidak menular meningkat drastis dan dilain pihak penyakit menular masih tinggi. Saat ini ada sekitar 20 juta penderita penyakit jantung di Indonesia dan penyakit ini menjadi penyebab dari 30% kematian di Jawa dan Bali. Pada saat bersamaan penyakit menular dan parasit menjadi penyebab dari sekitar 22% kematian. Dengan demikian Indonesia saat ini dalam masalah kesehatan menghadapi beban ganda yang cukup berat.
Gizi Buruk dan Kualitas SDM
Kesehatan tidak dapat dimaknai secara sempit dengan framework teknis medis karena substansinya sangat luas dan multi disiplin. Upaya kesehatan tidak hanya sebatas pembebasan (eliminasi/eradikasi) penyakit, karena menyangkut pula kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu upaya kesehatan harus komprehensif dan proporsional mencakup preventif, kuratif, rehabilitatif dan promotif. Disayangkan pola pembangunan kesehatan di negara kita bila dilihat dari proporsi anggaran, upaya kuratif masih sangat menonjol dan upaya kesehatan dasar (primary health care) belum menjadi main stream yang dominan.
Pada tahun 2005 di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang dimana 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Di antara 1,5 juta anak menderita gizi buruk tersebut ada sekitar 150.000 anak menderita gizi buruk tingkat berat yang disebut marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor. Masalah gizi kurang dan gizi buruk ini terjadi hampir disemua Kabupaten/Kota. Pada akhir tahun 2005 terdapat 110 Kabupaten/Kota dari 440 Kabupaten/Kota di Indonesia yang mempunyai prevalensi di atas 30% (berat badan menurut umur). Jumlah kasus gizi buruk yang meninggal dunia dilaporkan bulan Januari 2005 sampai November 2005 mencapai 232 balita.
Malnutrisi di Indonesia diderita oleh semua usia mulai balita, remaja, usia produktif sampai usia lanjut. Bagi balita gizi kurang dan gizi buruk mempunyai implikasi yang kompleks karena tidak hanya berkaitan dengan kesakitan tetapi juga berkaitan dengan pertumbuhan dan kecerdasan. Kasus gizi buruk dalam jumlah yang besar bisa menyebabkan Indonesia kehilangan ratusan juta point IQ setiap tahunnya. Generasi bangsa yang kurang gizi ini tentu tidak memiliki daya saing untuk melawan generasi sebayanya di ASEAN karena kasus gizi buruk hampir-hampir tidak ditemui di Malaysia, Singapura dan Thailand.

kesehatan indonesia
Sumber: Amarita, et al, 2004
Angka Kematian Bayi, Kematian Ibu dan Kemiskinan
Indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) termasuk indikator kesehatan yang sensitif. AKB dan AKI yang tinggi (jelek) mengindikasikan aspek-aspek kesehatan yang lainnya juga bermasalah karena memang ada korelasinya. Pada tahun 2003, AKB di Indonesia tercatat 35 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun AKB Indonesia telah mengalami perbaikan, tetapi keadaan tersebut tetap jauh lebih buruk dibanding dengan Viet Nam dg AKB 18, Thailand 17, Filipina 26, Malaysia 5,5, dan Singapura 3,0 (Asean Statistical Pocketbook, 2006). Tiga penyebab utama kematian bayi di Indonesia adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), komplikasi perinatal dan diare. Gabungan ketiga penyebab ini memberikan kontribusi bagi 75% kematian bayi di Indonesia.
Yang lebih tragik lagi Angka Kematian Ibu waktu melahirkan (AKI) di Indonesia sangat tinggi sekali yaitu 307 per 100.000 kelahiran. AKI yang tinggi ini membuat Indonesia berada di peringkat atas di Asia. Beberapa negara ASEAN kondisinya jauh lebih baik yaitu Viet Nam 160 per 100.000 kelahiran hidup; Malaysia 36 dan Singapura 6. Tingginya AKI di Indonesia ternyata sebagian besar karena perdarahan (40%), kekurangan gizi, infeksi dan masalah akses pelayanan kesehatan. Tingginya AKB dan AKI di Indonesia berkorelasi kuat dengan kemiskinan. Hal ini bisa kita lihat dalam realitas yang ternyata kematian anak sebelum mencapai usia 5 tahun dari keluarga miskin mencapai sekitar empat kali lebih tinggi dibandingkan anak dari keluarga mampu. Demikian juga tingginya AKI sebagain besar adalah ibu dari keluarga miskin yang tidak mendapatkan akses bantuan tenaga medis dalam proses melahirkan.
Keluarga miskin dengan lingkungan pemukiman yang buruk dan tingkat pendidikan yang rendah merupakan mata rantai kelam dari berbagai penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi di Indonesia. Lingkungan pemukiman yang buruk dan kemiskinan menyebabkan di Indonesia setiap tahun terdapat 557.000 kasus tuberkulosa (TBC) baru dan 250.000 di antaranya merupakan penderita TBC menular dengan kematian 140.000. Ini berarti setiap hari di Indonesia terdapat 425 orang meninggal karena TBC. Kondisi ini yang menyebabkan Indonesia menempati peringkat ketiga penderita TBC terbanyak di dunia setelah India dan China. Pada saat yang sama setiap tahun terdapat 100.000 anak mati di Indonesia karena diare yang disebabkan sanitasi yang buruk termasuk tidak adanya akses untuk memperoleh air bersih.



.
Paradigma Baru dan Kepemimpinan
Prof F.A. Moeloek Menteri Kesehatan pada era Presiden Habibie merumuskan paradigma baru dalam pembangunan kesehatan yaitu paradigma sehat. Paradigma ini secara diametral berlawanan dengan paradigma sakit. Paradigma sehat memfokuskan program dan upaya kesehatan untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat, bukan berkonsentrasi pada penyembuhan mereka yang sakit dengan membebaskan biaya pelayanan kesehatan. Paradigma sehat tidak inward looking pada sektor kesehatan belaka, tetapi justru sektor non kesehatan diposisikan dengan peran yang sangat strategis.
Mengingat kompleksitasnya pembangunan kesehatan, maka faktor kepemimpinan (leadership) menjadi sangat penting. Diperlukan pemimpin yang mampu memberikan inspirasi, motivasi dan dapat menggerakkan masyarakat luas maupun semua sektor untuk berperan aktif dalam upaya kesehatan. Selain itu pemimpin termaksud juga harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang kebijakan publik, kaya ide-ide inovatif dan mampu mengkomunikasikanya secara elegan kepada masyarakat luas. Bukan pemimpin dengan kosa kata yang terbatas dan hanya mengetahui aspek teknis kesehatan.



1 Doktor Strategic Management, alumni FE UI.

Tidak ada komentar: